♫Remember
me, though I have to say goodbye—Remember me, don't let it make you cry—For
even if I'm far away, I hold you in my heart♫
Doktrin Disney and Pixar dimulai dari
anak-anak adalah salah satu keistimewaan luar biasa, I’m seriously felt that. Loving something that makes you overwhelm is
just exciting. Masa-masa Toy Story, Up, Tangled (even just Disney), Inside
Out, dan sekarang Coco—betapa bahagianya anak-anak 90’an yang sudah beranjak
tua ini disuguhkan moral-moral baru yang selalu bikin mesmerizing.
Dan saat ini adalah masa-masa exciting dengan COCO!
Coco dibuka dengan narasi dari Miguel—pemeran utama
kita—tentang latar belakang keluarganya yang memusuhi musik dan menjadi konflik
di kala Miguel malah sangat amat mencintai musik yang terinspirasi dari
idolanya yaitu Ernesto de la Cruz. Pada saat perayaan Dia de los Muertos, Miguel nekat mencuri gitar milik Ernesto
de la Cruz dan berakhir di alam baka di hari festival Day of the Dead. Untuk kembali,
ia harus meminta restu dari keluarganya, pada saat inilah adventure pencarian kebenaran tentang keluarganya terungkap.
Mengambil latar Mexico pada hari festival Day of the Dead memang bukan pertama
kali diangkat. Ada Book of Life (2014) yang mengambil latar hari tersebut juga.
Tapi keduanya memiliki storyline yang
sama sekali berbeda. Terlihat dari potongan statement
Lee Unkrich pada saat menggarap Toy Story 9 tahun silam ketika ditanya apa
project terbarunya: “One of them was the
notion of telling a story set against the Mexican tradition of Dia de Muertos
[Day of the Dead]. I’d always been interested in the celebration, mostly
through the folk art and iconography of the tradition,”
Konten Coco memang sangat detail dengan visual
yang luar biasa. Dialog mix antara Mexican-Latino-American adalah pencapaian
luar biasa oleh para pengisi suara Coco. Visual kelopak bunga marigold sebagai
jembatan para arwah dari alam baka ke alam manusia sangat cantik dan dante—sebagai
binatang penuntun di alam baka absolutely
an amazing idea. Pesan yang ingin disampaikan juga membuat hati kita
berdesir ketika mengingat bahwa orang-orang yang sudah meninggal juga ingin
diingat, ingin di pasang fotonya sebagai tanda walau mereka tidak ada di dunia
tapi orang-orang masih mengingat kenangan mereka di dunia. Seperti ketakutan
semua orang “Fears to be forgotten”.
:( paragraf terakhirnya..."fears to be forgotten"...makasi gio, ku senang baca reviewnya deh jadi pengen nonton Coco
ReplyDeleteterima kasih kadisa atas feedbacknya. nonton dong, ajak mbah, umi, mbayu, salsa nya. dijamin nangis :)
Deleteyang belum nonton ayu buruan tonton film nya!!! recomended bangeetttt. jan lupa siapin tisu yaaa
ReplyDeleteSetujuuuu. Terima Kasih Mba Mega, atas feedback nya!
Delete