Seharusnya adalah salah satu kata berdasar pada
standar, tampak memaksa namun tidak terwujud.
Hidup manusia yang dijadikan percontohan bagi manusia
lainnya kini bukan lagi diperlakukan sebagai model, melainkan sebuah keharusan.
Selalu ada manusia yang terlihat lebih jelas dari yang
lainnya, yang selalu didengar pun juga banyak tapi tak semua. Mengapa? Karena dunia
punya ketentuan seperti itu.
Orang-orang yang suatu keharusannya terlewat-- begitupun dengan orang-orang yang sudah sampai pada tujuannya, dibekali poin yang hanya diketahui oleh yang tidak akan mengikuti lomba.
Dalam perlombaan ini,
peraturan bagi yang terlewat adalah dilarang kembali atau putar balik. Sementara bagi yang telah sampai, peraturannya adalah dilarang berhenti. Keduanya kemudian
tidak punya pilihan lain selain terus jalan dengan poin masing-masing yang
masih tersisa.
Poin inilah yang selalu salah dimaknai si terlewat dan
si sampai. Karena tidak tahu jumlah poin yang dimiliki, si terlewat dan si
sampai membuat asumsi bahwa poin tersebut memiliki jumlah yang sama dengan
menciptakan standar.
Standar ini memiliki alat bernama pembanding.
Pembanding lalu digunakan secara berlebihan, terkadang
malah secara terang-terangan dan disadari betul oleh individu yang memercayai
makna semu.
Klasifikasi terhadap si terlewat dan si sampai adalah
fakta yang ditentukan oleh waktu, bukan alat. Bahkan sebenarnya mereka berbeda
sekali.
Poin yang dimiliki masing-masing individu memang tidak
terbantahkan karena sudah ditentukan sejak dulu, tidak mengetahuinya adalah
cara untuk patuh pada peraturan untuk terus jalan sampai perlombaan selesai.
Kemudian, si terlewat dan si sampai akan menyadari
makna semu sebuah perlombaan adalah tentang menang dan kalah ketika
sesungguhnya perlombaan adalah tentang siapa yang menyelesaikannya.
0 comments:
Post a Comment