Wednesday, November 29, 2017

1

Jenuhnya Mendengar “Mari Tingkatkan Minat Membaca”



Maraknya berbagai tindakan persuasif dalam menyerukan minat baca butuh ditingkatkan sudah sangat biasa kita dengar—bahkan dalam hal ini telah membawa dampak yang tidak lagi dihiraukan. Beberapa idiom yang ditunjukkan khusus untuk meningkatkan minat baca ini justru membuat para pendegarnya tidak merasakan simpati. Padahal semua jajaran lembaga pendidikan yang perduli terhadap minat baca ini telah berusaha secara maksimal untuk membuat ajakan tersebut se-kreatif mungkin. Namun, lagi-lagi semuanya kembali kepada bagaimana respon individu ataupun kelompok dalam menanggapi ajakan “Minat Membaca” itu.

Mungkin anda adalah salah satu individu yang mengetahui bagaimana bobroknya minat baca masyarakat Indonesia pada saat ini. Hasil survei UNESCO mengatakan bahwa setiap 1000 masyarakat Indonesia hanya ada 1 orang saja yang membaca buku. Tapi bukan hanya pada buku saja, melainkan pada media yang perlu dibaca dan lainnya. Sebuah media juga ikut memerlukan sentuhan yang kreatif agar dapat menarik minat para pembaca, jika tampilannya standar dan sudah biasa, pastinya terlewat begitu saja.

Jika memaknai aktivitas manusia yang memandang bahwa waktu adalah segalanya, mungkin membaca buku merupakan hal yang lumrah dilakukan. Sekarang—di zaman yang katanya selalu dianggap sebagai perlombaan lari marathon—buku merupakan pilihan yang  dianggap tidak efisien dibawa-bawa jika dibandingkan dengan smartphone. Sebuah smartphone mampu mencangkup kemudahan untuk manusia berkegiatan. Salah satunya adalah meringkas tebal buku beribu-ribu halaman hanya sekedar dalam data berukuran byte.

Dengan segala kemudahan tersebut, lalu bagaimana minat baca di Indonesia masih kecil? Kesimpulan yang dapat saya tarik adalah mengenai faktor waktu. Ya, waktu adalah faktor yang mempengaruhi itu semua. Tapi ini sama sekali bukan mengenai membaca buku akan menghabiskan waktu secara sia-sia. Justru kebalikannya. Waktu akan berjalan sia-sia jika tidak membaca buku.

Semua orang hampir tidak bisa meluangkan sedikit waktunya untuk membaca sebuah buku. Pembendaharaan kata di buku tidak sama dengan media cetak lainnya. Sebuah ilmu, catatan, kisah atau cerita yang dibukukan sudah pasti telah menjalani berbagai penilaian untuk dijadikan sebuah tulisan yang dapat didistribusikan kepada khalayak. Karena sebuah buku mencangkup apapun yang melewati verifikasi khusus. Jika tidak memiliki suatu keistimewaan, buku juga tidak dapat dibuat.

Keistimewaan buku dapat dilihat dari berbagai sisi. Sisi yang biasanya pertama dilihat orang adalah sampul depan (Judul & Pengarang), kedua adalah bagian beakang (Sinopsis), dan yang ketiga tentunya adalah isi. Setelah ketiga jenis sisi utama tersebut menarik minat pembaca, maka terjadilah transfer ilmu lewat pemikiran-pemikiran penulis kepada si pembaca.

Buku yang baik tentunya akan membawa pembaca larut ke dalam berbagai torehan tinta sang penulis. Setelah tahap pertama itu berhasil, lalu terjadilah sesuatu yang dinamakan dengan ikatan. Ikatan yang terjadi antara penulis dan pembaca memang wujudnya tidak terlihat. Namun, jika si pembaca sudah merasakan hal yang membuat dirinya terikat dengan buku tersebut, maka sang penulis berhasil dalam menyampaikan pesannya secara utuh lewat buku tersebut.

Jika anda memaknai penjabaran saya di atas secara menyeluruh, maka anda berhak mengisi waktu luang anda dengan membaca buku. Dimulai dengan menyisihkan waktu berharga anda untuk menuntaskan beberapa lembar halaman sebuah buku lalu menuntaskan beberapa lembar halaman kembali waktu berikutnya kemudian beberapa lembar lagi hingga akhirnya anda sadar bahwa membaca sebuah buku dapat memberikan anda sebuah keistimewaan dibanding hanya melihat dan mendengarkan.

Buku dapat membuat anda menjadi seseorang yang memaksimalkan kerja indra anda, tidak hanya sekedar menggunakan penglihatan atau pendengaran saja.Seperti contoh, mata yang digunakan untuk membaca rangkaian kata demi kata. Telinga, yang mengganti menjaga diri anda agar selalu siaga dikala mata sedang digunakan untuk membaca. Hidung, yang dapat mencium aroma menenangkan khas buku yang bergesekan antara satu kertas dengan yang lainnya. Mulut, untuk menggumamkan kata-kata yang berhasil mengugah perasaan. Dan pikiran, yang dapat membawa kita ke dalam isi buku tersebut memunculkan imajinasi yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Setelah merasakan hal tersebut, waktu yang sebelumnya saya tuturkan sebagai salah satu faktor mengapa minat baca di Indonesia masih kecil kini telah terkikis sudah. Faktor tersebut dapat kita dorong dengan keinginan yang kuat untuk mengisi pemikiran kita terhadap sesuatu yang berguna. Selain itu, daya analisis dan penarikan kesimpulan juga akan didapatkan jika anda menghapus jauh-jauh faktor waktu untuk alasan untuk tidak membaca satu atau dua lembar halaman sebuah buku.

Kemudian pada saat faktor waktu tersebut hilang dalam diri anda, bersiaplah untuk menjadikan buku sebagai kebiasaan baik anda dalam berkegiatan sehari-hari. Setelah menjadi kebiasaan bagi diri anda sendiri, buatlah pengaruh tersebut kepada teman-teman terdekat anda. Berikan penalaran anda sendiri untuk membuat orang terdekat anda mengetahui apa yang sebenarnya anda rasakan terhadap buku.


Jika berhasil, langkah selanjutnya adalah menjadikan sebuah buku seperti definisi umum budaya yang terbentuk akibat adanya kebiasaan yang berulang ulang, lalu diakui keadaannya oleh sekelompok orang. Anda dapat membawa buku menjadi salah satu peran yang membudayakan Indonesia dengan segala isi dan pengetahuan yang tertuang di dalamnya. Biarkan segalanya terjadi secara berulang-ulang seperti rantai makanan karena dengan hal itulah yang dapat menghilangkan panggilan bobroknya minat baca Negara kita yang tercinta ini. Dengan begitu, minat membaca tidak perlu di gembar-gemborkan hingga jenuh seperti terdahulu, melainkan dengan cara kita sendiri yang membiarkan kita menjadikan sebuah buku sebagai salah satu budaya Indonesia. (GE - 27/11/2015)

Tuesday, November 28, 2017

2

Because This is My First Life - Review


"This drama absolutely has a feel."

Karena pemeran utamanya adalah seorang penulis--walaupun di episode pertengahan tidak terlalu di eksplor, namun melihat dari perspektif dan penilaian pemeran utama kepada jalan hidupnya menunjukkan bahwa pemikiran sebagai penulis itu masih ada. 


Dengan menampilkan masalah yang dihadapi oleh dewasa-dewasa Korea sana (rentang usia 25-35 tahun) yaitu hak milik sesuatu yang lebih besar, komitmen, atau relationship history yang masa-masanya muncul kembali untuk meminta diperhitungkan. Because This is My First Life menyisir masalah-masalah tersebut dengan sudut pandang orang-orang Korea yang idealis tapi nyeleneh.

Seriously, if you looking a good content in latest korean drama, choose this. Se Hee and Ji Ho, sometimes their way of thinking are simple but loose.


Luv
Friendship that just the way we have